IBADAH
KAUM MUDA REMAJA, 08 FEBRUARI 2020
STUDY
YUSUF
(Seri: 181)
Subtema:
PERGI KE BUKIT
KEMENYAN
Shalom.
Pertama-tama saya mengucapkan puji
syukur kepada Tuhan; oleh karena kasih dan
kemurahan-Nya, kita dimungkinkan untuk mengusahakan Ibadah
Kaum Muda Remaja.
Saya juga tidak lupa menyapa anak-anak
Tuhan, pemuda remaja, juga hamba-hamba Tuhan yang sedang mengikuti pemberitaan
firman Tuhan lewat live streaming, video
internet, Youtube, Facebook di mana pun
anda berada.
Selanjutnya, mari kita
berdoa, kita mohonkan supaya Tuhan membukakan firman-Nya bagi kita pada saat
malam hari ini, supaya kehidupan kita diubahkan oleh Tuhan
menjadi suatu kehidupan pemuda remaja yang berarti, menjadi kehidupan pemuda
remaja yang menjadi kesaksian (contoh teladan)
di hari-hari terakhir ini, di mana
kedatangan Tuhan sudah tidak lama lagi.
Segera kita memperhatikan firman
penggembalaan untuk Ibadah Kaum Muda Remaja tentang STUDY YUSUF.
Kejadian 41:50-52
(41:50) Sebelum datang tahun kelaparan itu, lahirlah bagi Yusuf dua orang anak
laki-laki, yang dilahirkan oleh Asnat, anak Potifera, imam di On. (41:51) Yusuf memberi nama Manasye
kepada anak sulungnya itu, sebab katanya: "Allah telah membuat aku
lupa sama sekali kepada kesukaranku dan kepada rumah bapaku." (41:52) Dan kepada anaknya yang
kedua diberinya nama Efraim, sebab katanya: "Allah membuat aku
mendapat anak dalam negeri kesengsaraanku."
Sebelum datang tujuh tahun kelaparan
itu lahirlah bagi Yusuf dua orang anak laki-laki;
- Yang
sulung bernama: Manasye.
- Yang
kedua bernama: Efraim.
Selanjutnya, mari kita
menyimak arti rohani kedua nama anak laki-laki Yusuf tersebut, dimulai dari
anak yang sulung, yakni Manasye.
MANASYE, artinya:
Allah telah membuat Yusuf lupa sama sekali terhadap dua perkara, yaitu:
1. Yusuf
lupa kepada kesukarannya.
2. Yusuf
lupa kepada rumah bapanya.
Saat ini kita masih memperhatikan hal
yang pertama.
Tentang: Yusuf lupa kepada kesukarannya.
Adapun kesukaran Yusuf dibagi dalam
tiga fase:
- Fase
yang pertama: “Ketika Yusuf tinggal
bersama-sama dengan saudara-saudaranya.” (Kejadian 37)
- Fase
yang kedua: “Ketika Yusuf tinggal di
rumah Potifar.” (Kejadian 39)
- Fase
yang ketiga: “Ketika Yusuf berada di
dalam penjara.” (Kejadian 40)
Sekarang kita masih berada pada FASE
YANG KEDUA: KETIKA YUSUF BERADA DI RUMAH
POTIFAR.
Kejadian 39:6b
(39:6) Segala miliknya diserahkannya pada kekuasaan
Yusuf, dan dengan bantuan Yusuf ia tidak usah lagi mengatur apa-apa pun selain
dari makanannya sendiri. Adapun Yusuf itu manis sikapnya dan elok parasnya.
“Adapun
Yusuf itu manis sikapnya dan elok parasnya.”
Ketentuan firman Allah terhadap sidang
mempelai Tuhan ialah manis sikapnya
dan elok parasnya, mengapa
demikian? Karena sidang mempelai Tuhan tidak boleh ada cacat dan celanya,
berarti; harus sempurna, itulah yang disebut manis
sikapnya dan elok parasnya.
Kita lihat sebagai pembuktiannya.
Kidung agung 4:1-7
(4:1) Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh
cantik engkau! Bagaikan merpati matamu di balik telekungmu. Rambutmu
bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead. (4:2) Gigimu bagaikan kawanan
domba yang baru saja dicukur, yang keluar dari tempat pembasuhan, yang beranak
kembar semuanya, yang tak beranak tak ada. (4:3)
Bagaikan seutas pita kirmizi bibirmu, dan elok mulutmu.
Bagaikan belahan buah delima pelipismu di balik telekungmu. (4:4) Lehermu seperti menara
Daud, dibangun untuk menyimpan senjata. Seribu perisai tergantung padanya dan
gada para pahlawan semuanya. (4:5) Seperti
dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan
rumput di tengah-tengah bunga bakung. (4:6)
Sebelum angin senja berembus dan bayang-bayang menghilang, aku ingin pergi ke
gunung mur dan ke bukit kemenyan. (4:7)
Engkau cantik sekali, manisku, tak ada cacat cela padamu.
Di sini kita perhatikan, Mempelai
Laki-Laki memuji mempelai perempuan-Nya, mengapa? Karena mempelai perempuan itu
cantik, dengan lain kata; manis sikapnya
dan elok parasnya = tanpa cacat dan cela = sempurna adanya.
Persis seperti peti dari Tabut
Perjanjian yang terbuat dari kayu penaga, tetapi telah disalut dengan emas luar
maupun dalam, arti rohaninya: kedudukan kerohanian
dari
mempelai perempuan Tuhan sederajat dengan Mempelai Laki-Laki Sorga, baik
luar maupun dalam, lahir maupun
batin,
sehingga dengan demikian layak bersanding
dengan Mempelai Laki-Laki Sorga di dalam pesta nikah Anak Domba -- itulah
sasaran akhir dari perjalanan rohani kita di atas muka bumi ini --.
Adapun kelebihan dari mempelai
perempuan sehingga ia mendapat pujian dari Mempelai Laki-Laki, antara lain:
1. Mata.
2. Rambut.
3. Gigi.
4. Bibir atau mulut.
5. Pelipis.
6. Leher.
7. Buah dada.
Semuanya itu telah diterangkan.
Mari kita kembali memperhatikan Kidung Agung 4.
Kidung Agung 4:6B
(4:6) Sebelum angin senja berembus dan
bayang-bayang menghilang, aku ingin pergi ke gunung mur dan ke bukit
kemenyan.
Kalimat pada bagian B: “AKU INGIN PERGI KE GUNUNG MUR DAN KE BUKIT
KEMENYAN.”
Kalimat ini menjelaskan kepada kita
tentang kerendahan hati dari Mempelai
Laki-Laki sehingga menjadi contoh teladan yang baik bagi kita,
sidang mempelai-Nya.
Marilah kita saling
merendahkan diri satu dengan yang lain supaya menjadi
contoh teladan bagi yang lain.
Kemudian, perlu untuk
diketahui: Orang yang
rendah hati ialah juga orang yang murah hatinya. Kalau tidak rendah hati, sudah pasti tidak murah hati, tetapi kalau
rendah hati, ia pasti murah hati.
Kita lihat sejenak tentang: KERENDAHAN
HATI.
Matius 23:10-12
(23:10) Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena
hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. (23:11)
Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.
(23:12) Dan barangsiapa
meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri,
ia akan ditinggikan.
Barangsiapa terbesar hendaklah ia
menjadi pelayan, berarti pemimpin adalah
pelayan, dengan lain kata; mengambil
rupa seorang hamba, berarti merendahkan
diri di dalam melayani Tuhan dan melayani pekerjaan Tuhan, itulah
seorang pemimpin.
Jangan sampai salah mengerti tentang seorang pemimpin, seperti kebanyakan
orang yang menginginkan untuk menjadi hamba Tuhan dengan
tujuan menjadi pemimpin (mengatur jemaat), ini
kesalahan yang besar.
Dahulu sewaktu masih menjadi
jemaat, ia adalah seorang yang rendah hati, tetapi
pada saat ia menjadi hamba Tuhan (gembala),
ia justru mengambil rupa seorang tuan,
bukan lagi mengambil rupa seorang hamba. Itu
adalah
suatu kekeliruan yang fatal, dan itu saya
lihat dengan mata saya sendiri.
Perlu untuk diketahui:
Barangsiapa merendahkan diri ia akan
ditinggikan oleh Tuhan. Tetapi orang
yang meninggikan diri, ia akan direndahkan
Tuhan.
Ada dua tempat yang tinggi tercatat di
dalam Alkitab:
1. Bukit
Golgota.
2. Gunung
Sion.
Bukit
Golgota,
menunjuk kepada: sengsara salib
= kehendak Allah terlaksana.
Memikul salib di tengah ibadah dan pelayanan
menunjukkan bahwa kita sedang berada di bukit Golgota, berada di tempat yang
tinggi.
Jangan malu
merendahkan diri, jangan malu ketika kita mempertahankan kesucian, jangan malu
untuk berada di dalam tahbisan yang benar,
tidak
boleh gengsi dan tidak boleh mempertahankan harga diri saat
beribadah dan melayani Tuhan. Kalau
seseorang masih mempertahankan harga dirinya, masih mempertahankan gengsi, sampai
kapan pun dia tidak akan berada di tempat yang
tinggi, ia tidak akan berada di bukit Golgota.
Sebab itu, siapa yang
meninggikan diri akan direndahkan Tuhan, tetapi kalau kita rendah hati melayani
Tuhan dan setia berada dalam tahbisan yang baik
dan
yang suci, berarti ia berada di tempat yang tinggi.
Pilih mana; tempat yang
rendah atau tempat yang tinggi? Jangan bodoh
dan jangan terbawa perasaan, sebab memang
terkadang
perasaan ini yang membuat manusia menjadi bodoh.
Selanjutnya, gunung Sion, menunjuk
kepada: mempelai wanita Tuhan
= gereja Tuhan yang sempurna.
Berarti, kualitas
rohaninya sama dengan Mempelai Laki-Laki Sorga, sama dengan;
berada di dalam kemuliaan.
Ciri bercahaya kemuliaan: Transparan,
luar dalam sama, tampil apa adanya, tidak ada lagi yang tutup-ditutupi, sehingga cahaya
kemuliaan itu terpancar dari wajah masing-masing.
Itulah sedikit tentang kerendahan hati
dari Mempelai Laki-Laki Sorga sehingga menjadi contoh teladan kepada mempelai
perempuan-Nya dan contoh teladan dari
Mempelai Laki-Laki ini harus kita ikuti, jangan ikuti cara yang manusiawi (cara
yang bodoh).
Kita kembali membaca Kidung Agung 4.
Kidung Agung 4:6B
(4:6) Sebelum angin senja berembus dan
bayang-bayang menghilang, aku ingin pergi ke gunung mur dan ke bukit
kemenyan.
“Aku
ingin pergi ke gunung mur dan ke bukit kemenyan.” Kalimat
ini kita bagi menjadi dua bagian, yakni:
1. Aku ingin pergi ke
gunung mur.
2. Aku ingin pergi ke
bukit kemenyan.
Tentang: AKU INGIN PERGI KE GUNUNG MUR.
Gunung
mur,
menunjuk kepada: gunung Golgota, di mana
Anak Domba Allah telah mencurahkan darah-Nya yang suci atas kehidupan kita
masing-masing.
Mur adalah getah yang berbau harum yang
keluar dari pohon mur, dengan cara terlebih dahulu melukai kulit batang dari
pohon mur itu sendiri. -- Setelah kulit
batang pohon mur itu dilukai, maka mengalir
keluar getah dari pohon mur itu sendiri.
-- Jelas
ini merupakan gambaran dan bayangan dari sengsara Yesus, Anak Allah,
di atas kayu salib.
Yesus Kristus telah dilukai dari kepala
sampai ujung kaki-Nya, bahkan punggung-Nya terlukai
oleh cambukan sehingga darah-Nya yang suci itu mengalir keluar dari luka-luka
yang hebat itu atas kita semua.
Pendeknya: Yesus rela
menderita atas kita dan rela menanggung sengsara di atas kayu salib karena dosa
manusia -- hal itu dinubuatkan dalam Yesaya 53:1 dan seterusnya --.
Hal ini
--
Aku ingin pergi ke gunung mur -- telah
disampaikan dua minggu berturut-turut, dan tentu kita
semua diberkati.
Sekarang kita akan melihat ...
Tentang: AKU INGIN PERGI KE BUKIT KEMENYAN.
Berada di bukit kemenyan, artinya: berada pada puncak kerohanian yaitu doa penyembahan.
Itulah puncak rohani
kita masing-masing; doa penyembahan.
Janganlah kerohanian
kita berjalan di tempat. Ayo,
melangkah maju sesuai dengan langkah-langkah yang ditetapkan firman sampai kita
dibawa kepada puncak kerohanian, yaitu doa penyembahan.
Itu sebabnya Mempelai Laki-Laki berkata kepada mempelai perempuan: Aku ingin pergi ke bukit kemenyan, ini
adalah teladan yang Dia
tinggalkan
bagi kita supaya kita juga pergi ke gunung kemenyan.
Mari kita membawa kehidupan rohani kita
sampai kepada puncaknya, jangan kerohanian kita ini hanya
berjalan
di tempat, karena itu merugikan diri sendiri; selain
rugi dengan waktu, juga rugi dengan tenaga,
rugi dengan biaya, rugi dengan pengorbanan, dan ujung-ujungnya kerugian yang
terbesar adalah binasa.
Wahyu 8:3-4
(8:3) Maka datanglah seorang malaikat lain,
dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya
diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua
orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta itu. (8:4) Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa
orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah.
Di sini kita perhatikan pada ayat 3: Datanglah
seorang malaikat lain, kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkan
-- berarti membakar kemenyan --,
lalu naiklah asap kemenyan itu ke hadapan
Allah, itulah doa penyembahan dari orang-orang
kudus.
Doa
penyembahan itu bagaikan asap dupa kemenyan yang naik membumbung
tinggi sampai kepada hadirat Allah. Itulah puncak
rohani kita; doa penyembahan membawa sampai ke hadapan
Allah.
Matius 26:40-41
(26:40) Setelah itu Ia kembali kepada
murid-murid-Nya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan Ia berkata kepada
Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? (26:41) Berjaga-jagalah dan
berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut,
tetapi daging lemah."
Ukuran atau waktu lamanya untuk menyembah, standarnya; tidak kurang dari satu jam.
Kalau berbicara tentang angka 1 (satu),
persis seperti anak domba paskah yang dipersembahkan di atas Mezbah Korban
Bakaran, syaratnya:
-
Harus tanpa cacat dan cela.
-
Harus berumur setahun.
Pendeknya: Angka
satu berbicara tentang kedewasaan rohani.
Jadi, ukuran
menyembah itu tidak kurang dari 1 (satu) jam, itu
standar kerohanian kita. Kalau kita sudah mampu menyembah dalam 1 (satu) jam,
berarti dewasa rohani.
Saya berharap, yang sudah
belajar menyembah 15 (lima belas) menit
tingkatkan sampai setengah jam, yang sudah berada pada setengah jam tingkatkan
sampai 1 (satu) jam. Kalau
sudah berada di 1 (satu) jam,
bertahan, dan kalau bisa tingkatkan terus sampai
berjam-jam.
Sedangkan untuk mendapat pembukaan
firman, doa penyembahan tidak cukup hanya satu dua jam,
dibutuhkan berjam-jam sujud menyembah di kaki salib
Tuhan. Oleh sebab itu, dengar firman sungguh-sungguh, pembukaan firman itu
seharga dengan setetes darah. Tidak ada
seorang pun yang dapat
membukakan rahasia firman, hanya Kristus yang sanggup menyingkapkan
rahasia firman. Maka, seorang hamba Tuhan membutuhkan waktu berjam-jam di ujung kaki salib Tuhan untuk
menantikan pembukaan firman Tuhan.
Kita harus berbahagia kepada Tuhan
Yesus Kristus, Kepala Gereja, Dia adalah Imam Besar yang sudah berdoa dan
memperdamaikan dosa kita, Dia melakukan itu berjam-jam di atas kayu salib.
Kita lihat kembali ...
Wahyu 8:3
(8:3) Maka datanglah seorang malaikat lain,
dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya
diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua
orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta itu.
“Seorang
malaikat lain”, itulah malaikat yang kuat, menunjuk kepada;
pribadi Yesus Kristus, Dia adalah Imam Besar, kepada-Nya diberikan banyak kemenyan, artinya: hidup dalam doa penyembahan yang besar
= mezbah dupa besar.
Mengapa kita harus menjadi mezbah dupa
besar? Mengapa kita harus hidup dalam doa penyembahan
yang besar? Karena hari-hari ini adalah hari-hari yang jahat.
Dunia sekarang
ini sudah tidak karu-karuan, tanda bahwa dunia ini sudah
berada pada puncaknya kegelapan. Lihatlah, mudah
sekali seseorang terseret dalam dosa kenajisan, itu adalah
tanda bahwa
hari ini adalah hari yang jahat.
Oleh
sebab itu, kalau
kita tidak hidup dalam doa penyembahan yang besar, maka tidak
tertutup kemungkinan menjadi mangsanya Iblis atau setan, roh jahat dan roh
najis.
Matius 4:8-10
(4:8) Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung
yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan
kemegahannya, (4:9) dan berkata
kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud
menyembah aku." (4:10) Maka
berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau
harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau
berbakti!"
Kalau kita hidup dalam doa penyembahan
yang besar maka akan terlepas dari daya
tarik bumi.
Di sini kita melihat;
Ular (Iblis) itu membawa Yesus Kristus ke atas
gunung yang tinggi, dari situlah Iblis memperlihatkan kerajaan dunia dan
kemegahannya, dan semuanya itu akan diberikan kepada Yesus
Kristus dengan syarat apabila Yesus menyembah Iblis
Setan.
Tetapi karena Yesus,
Anak Allah, hidup dalam penyembahan yang besar -- mezbah dupa yang besar --, Dia terlepas
dari daya tarik bumi, dengan lain kata; Ia tidak tertarik dengan kerajaan dan
kemegahan dunia ini sedikit pun.
Suatu saat nanti, yang ada ini akan
berlalu, tetapi sebaliknya, Kerajaan Sorga adalah
kekal sampai selama-lamanya. Oleh sebab itu,
kalau Tuhan ajar kita, kalau Tuhan didik
kita dengan langkah-langkah firman yang membawa kita sampai puncak rohani, itu
adalah kemurahan, mengapa? Sebab banyak gunung
yang tinggi di atas muka bumi ini hanya berbicara soal berkat-berkat lahiriah,
tetapi bukit Golgota dan gunung Sion berbicara tentang Pengajaran Salib
dan Pengajaran Mempelai.
Kemudian, banyak gunung-gunung (tempat rumah
Tuhan) mengajarkan soal penyembahan tetapi arahnya kepada kerajaan dunia dan
kemegahannya -- seperti Iblis (ular) membawa Yesus ke atas gunung
yang tinggi --,
tetapi sebaliknya Pengajaran Mempelai dan pengajaran salib
membawa kita sampai kepada puncak rohani, sampai kepada derajat yang tinggi,
hidup di dalam doa penyembahan.
Lihatlah, Iblis membawa Yesus ke tempat
yang tinggi -- gunung yang tinggi
--,
tetapi ingat, hanya ada dua gunung yang tinggi yang tercatat dalam Alkitab,
yaitu:
1. Bukit
Golgota, itulah Pengajaran Salib.
2.
Gunung Sion, itulah Pengajaran
Mempelai .
Yang diajarkan di atas gunung-gunung yang lain hanyalah
soal berkat-berkat, sedikit pun tidak
mengajarkan kehidupan rohani dari anak-anak Tuhan sampai kepada
puncak rohani -- doa penyembahan --.
Kalau hanya berbicara soal berkat yang lahiriah
(kerajaan
dunia dan kemegahannya), itu adalah
suatu pembodohan yang tidak disadari oleh gereja Tuhan
di hari-hari terakhir ini.
Tetapi bersyukurlah kepada Tuhan,
sekarang kita berada di gunung yang tinggi, gunung yang sesungguhnya, yaitu bukit Golgota dan gunung Sion. Jangan mau
lagi pikiran kita disesatkan dari situ.
Sekarang kita memperhatikan ...
Wahyu 12:13-14
(12:13) Dan ketika naga itu sadar, bahwa ia telah
dilemparkan di atas bumi, ia memburu perempuan yang melahirkan Anak laki-laki
itu. (12:14) Kepada perempuan itu
diberikan kedua sayap dari burung nasar yang besar, supaya ia terbang ke
tempatnya di padang gurun, di mana ia dipelihara jauh dari tempat ular
itu selama satu masa dan dua masa dan setengah masa.
Kepada mempelai perempuan diberikan sayap burung nasar yang besar.
Hal ini berkaitan
dengan mezbah dupa besar, berkaitan dengan doa penyembahan yang besar.
Hiduplah dalam doa penyembahan yang
besar, seperti kepada malaikat yang kuat itu diberikan kepada-Nya banyak
kemenyan untuk dibakar. Kalau kepada-Nya
diberikan banyak kemenyan, berarti sama dengan; mezbah dupa
yang besar.
Kepada mempelai perempuan diberikan
sayap burung nasar yang besar, ini tekait dengan mezbah dupa besar atau hidup
dalam doa penyembahan yang besar, tujuannya; supaya ia
diterbangkan ke tempatnya (padang belantara) dan dipelihara jauh dari tempat
ular itu, jauh dari si mata ular.
Lihat,
apakah
betul sayap burung nasar yang besar terkait dengan doa penyembahan yang besar?
Wahyu 12:15-16
(12:15) Lalu ular itu menyemburkan dari mulutnya
air, sebesar sungai, ke arah perempuan itu, supaya ia
dihanyutkan sungai itu. (12:16) Tetapi
bumi datang menolong perempuan itu. Ia membuka mulutnya, dan
menelan sungai yang disemburkan naga itu dari mulutnya.
Di sini kita perhatikan:
Ular itu menyemburkan dari mulutnya air
sebesar sungai,
tujuannya; supaya mempelai perempuan dihanyutkan oleh
sungai itu. Tetapi bumi datang menolong perempuan itu;
bumi
membuka mulutnya dan menelan sungai yang disemburkan naga itu dari mulutnya.
APA BUMI??
Kejadian 2:6
(2:6) tetapi ada kabut naik ke atas dari bumi
dan membasahi seluruh permukaan bumi itu –
“Tetapi
ada kabut naik ke atas dari bumi”, itulah doa penyembahan.
Jadi, doa penyembahan adalah pertolongan bagi
mempelai perempuan. Jadilah
mezbah dupa besar, hiduplah dalam doa penyembahan yang besar.
Sekarang bandingkan dengan GEREJA YANG
TERTINGGAL, yaitu kehidupan yang tidak hidup dalam doa
penyembahan, tidak berada dalam puncak rohani.
Wahyu 12:17
(12:17) Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu,
lalu pergi memerangi keturunannya yang lain, yang menuruti hukum-hukum Allah
dan memiliki kesaksian Yesus.
Gereja yang tertinggal hanya memiliki
hukum-hukum Allah (firman Allah)
dan memiliki kesaksian Yesus (Roh Kudus),
tetapi kerohaniannya tidak sampai pada puncaknya atau tidak sampai kepada doa
penyembahan. Inilah yang menjadi sasaran dari pada mata
ular, inilah yang menjadi korban dari ular nanti.
Apabila puncaknya malam tiba,
yang menjadi korbannya adalah gereja yang tertinggal. Tidak
dipungkiri, mereka itu memang sudah menuruti firman dan
juga memiliki kesaksian Yesus -- sudah
melayani Tuhan dalam pimpinan Roh --, tetapi
sayangnya, kerohanian
mereka
tidak sampai pada puncaknya, tidak sampai kepada doa
penyembahan. Inilah yang menjadi sasaran atau mangsa dari pada ular itu.
Perhatikanlah dengan
sungguh-sungguh; jangan sampai kita berhenti hanya memiliki dan menuruti firman, juga
memiliki kesaksian Yesus (melayani dalam
pimpinan Roh), tetapi bawalah kehidupan rohanimu sampai kepada
puncaknya, yakni doa penyembahan bahkan menjadi Mezbah Dupa yang besar.
Sekarang kita akan belajar lebih dalam
lagi, SUMBER DOA PENYEMBAHAN.
Imamat 24:5-7
(24:5) "Engkau harus mengambil tepung yang
terbaik dan membakar dua belas roti bundar dari padanya, setiap roti bundar
harus dibuat dari dua persepuluh efa; (24:6)
engkau harus mengaturnya menjadi dua susun, enam buah sesusun, di atas meja
dari emas murni itu, di hadapan TUHAN. (24:7)
Engkau harus membubuh kemenyan tulen di atas tiap-tiap susun; kemenyan
itulah yang harus menjadi bagian ingat-ingatan roti itu, yakni suatu korban
api-apian bagi TUHAN.
Kemenyan tulen
dibubuhkan ke atas roti sajian, artinya: firman Allah akan membawa kita sampai kepada doa penyembahan,
dengan lain kata; doa penyembahan itu
didorong, ditopang oleh firman Allah.
Jangan sampai kita berada dalam doa
penyembahan, tetapi tidak ditopang oleh firman. Itu
sebabnya berkali-kali saya sampaikan; segala sesuatu
yang kita kerjakan harus ditopang oleh firman, termasuk kesaksian
harus ditopang oleh firman, tidak boleh karena pengertian, tidak boleh karena
keinginan ini dan itu.
Biarlah penyembahan itu ditopang oleh
firman, sesuai dengan langkah-langkah firman, ketetapan firman, membawa kita
sampai kepada hadirat Allah.
Jadi, manakala di
tengah-tengah ibadah pelayanan ada orang lain
di samping
kita yang tiba-tiba berbahasa sikaraba-sikaraba, atau ada juga yang mengatakan subahana seik, subahana sikil, maka kita tidak perlu
berkecil hati
sebab
bukan itu ukuran doa penyembahan.
Pendeknya;
jika ada orang yang tiba-tiba berbahasa lidah tanpa terlebih
dahulu ia mendengar
Firman Allah, sekalipun demikian tidak usah kecil hati, sebab
bukan itu yang menjadi ukuran dari doa penyembahan, seperti yang sering
dilakukan di gunung-gunung lain. Sungguh kasihan mereka yang berada di gunung-gunung lain, di mana arah
penyembahannya ialah kepada kerajaan dunia dan kemegahannya. Tetapi
lebih kasihan lagi, jika orang yang telah digembalakan
oleh Pengajaran Mempelai dalam terangnya Tabernakel, namun tidak sampai
kepada puncak rohani.
Jika
mereka yang berada di gunung-gunung lain kerohaniannya tidak sampai kepada
puncaknya, itu memang karena mereka tidak mengerti, tetapi jika sudah memiliki
Pengajaran Mempelai namun kerohanian mereka tidak sampai puncak rohani, itu
lebih parah kebodohannya.
Persamaan dari Imamat 24:7, kita akan temukan di dalam ...
Wahyu 5:7-8
(5:7) Lalu datanglah Anak Domba itu dan
menerima gulungan kitab itu dari tangan Dia yang duduk di atas takhta itu. (5:8) Ketika Ia mengambil gulungan
kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu
di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu
cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang-orang kudus.
Ketika Anak Domba itu membuka gulungan
kitab, tersungkurlah 4 makhluk dan 24 tua-tua,
lalu
mereka masing-masing memegang satu cawan
emas penuh dengan kemenyan, jelas itu menunjuk; doa
penyembahan yang ditopang (didorong)
oleh Firman Allah, sama dengan; berada di
bukit kemenyan.
Jadi, Firman Allah
yang membawa kita sampai berada di bukit kemenyan. Gulungan kitab yang terbuka,
pembukaan firman itu yang membawa kita sampai kepada bukit kemenyan (doa
penyembahan).
Kalau ada orang menyembah tanpa firman,
maka penyembahannya perlu dipertanyakan.
Kalau ada orang menyembah tetapi tidak butuh firman,
berarti
ibadah itu tidak benar. Gereja sekarang ini menyembah, tetapi tidak butuh
firman (tanpa Firman Allah), ini adalah kekeliruan
besar.
Saya sarankan kepada saudara di mana pun
anda berada, terkhusus kaum muda remaja, anak Tuhan, umat Tuhan, termasuk
hamba-hamba Tuhan yang sedang mengikuti live
streaming: Penyembahan
yang benar ditopang oleh firman, sebab Firman Tuhan
yang membawa kita sampai kepada puncak rohani.
Sekali
lagi saya sampaikan: Kalau gereja menyembah, tetapi tidak butuh firman, itu adalah
ibadah yang tidak benar.
CIRI DALAM PENYEMBAHAN
YANG BENAR:
Matius 27:50
(27:50) Yesus berseru pula dengan suara nyaring
lalu menyerahkan nyawa-Nya.
Setelah Ia berkata:"Eli, Eli, lama sabakhtani?", Ia menyerahkan nyawa-Nya. Artinya, penyembahan yang benar adalah berada
dalam penyerahan diri sepenuh.
Jangan sampai kita menyembah
berjam-jam, tetapi tidak dalam penyerahan diri, itu
adalah
kebodohan, dan itu hanya sebuah penyembahan karena aturan
manusia.
Tanda penyerahan diri sepenuh ialah
taat kepada Allah Bapa, tidak memberontak,
tetapi penurut. Dari situlah
kita mengetahui bahwa; Yesus adalah Anak
Allah.
Barangsiapa Kukasihi,
ia Kutegor dan Kuhajar. Dalam Ibrani 12:5-8 dikatakan; jika seseorang mau diakui sebagai anak-Nya, maka
ia harus terima teguran dan didikan Salib.
Jadi,
ciri
penyembahan yang benar adalah berada di dalam
penyerahan diri sepenuh, taat kepada kehendak Allah, taat kepada keputusan
Allah, bukan lagi kepada kepentingan diri di tengah ibadah dan pelayanan kepada
Tuhan.
Ayo, biarlah ciri
penyembahan yang benar itu ada dalam kehidupan kita
pribadi lepas pribadi.
Filipi 2:7-8
(2:7) melainkan telah mengosongkan diri-Nya
sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. (2:8) Dan dalam keadaan sebagai manusia,
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai
mati di kayu salib.
Penyembahan
yang benar ialah berada di dalam penyerahan diri sepenuh,
taat kepada kehendak Allah, sebagaimana
Yesus dalam keadaan sebagai manusia; Ia telah merendahkan
diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di atas kayu salib .
Persamaan dari ayat ini ...
Ibrani 5:7-9
(5:7) Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah
mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia,
yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah
didengarkan. (5:8) Dan sekalipun Ia
adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, (5:9) dan sesudah Ia mencapai
kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang
yang taat kepada-Nya,
Sekalipun Ia adalah Anak, namun Ia
telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya.
Ia taat dengan keputusan Allah, taat dengan
kehendak Allah, sampai pada akhirnya Dia
menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang juga taat
kepada-Nya.
Kalau kita
hidup dalam penyerahan diri sepenuh, taat kepada kehendak Allah, hal itu tidak
ada ruginya, mengapa? Karena Yesus adalah
pokok
keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.
Jadi,
tidak
ada ruginya jikalau kita taat, setia, dan dengar-dengaran. Tetapi banyak orang
yang merugikan dirinya dengan kekerasan hati; bertahan,
tidak mau berubah, tidak mau dikoreksi, tidak mau lagi dibentuk.
Tetapi kalau kita taat, setia,
dengar-dengaran, maka kita tidak akan rugi, karena Yesus adalah pokok
keselamatan yang abadi bagi mereka yang taat kepada Dia. Selamat;
pengorbanan tidak sia-sia, waktu yang kita gunakan untuk melayani Tuhan, uang
yang kita persembahkan tidak sia-sia, semuanya tidak sia-sia, asal taat saja
kepada kehendak Allah. Dari situlah kita mengerti dan mengetahui Yesus Kristus
adalah Anak Allah.
Pertanyaan: KAPAN KITA NAIK KE BUKIT
KEMENYAN??
Supaya kita menemukan jawaban yang
jelas, terang benderang, tentu saja kita akan membaca kembali ...
Kidung Agung 4:6a
(4:6) Sebelum angin senja berembus dan
bayang-bayang menghilang, aku ingin pergi ke gunung mur dan ke bukit
kemenyan.
Kapan kita naik ke bukit kemenyan? “Sebelum angin senja berembus dan
bayang-bayang menghilang.”
Jawabnya: sebelum malam tiba, sebelum puncak kegelapan tiba.
Jangan sampai
saat
kegelapan malam tiba, di sisi lain kita belum sampai pada puncak kerohanian.
Berada dalam kegelapan malam, namun belum sampai kepada puncak rohani, celaka
besar.
Malam, menunjuk kepada;
puncaknya dosa, yaitu:
a. Pada
saat kenajisan merajalela.
Karena
kalau dikaitkan dengan akhir zaman; sama seperti
pada saat zaman Nuh sebelum mereka masuk ke bahtera,
di mana
orang-orang pada zaman itu sibuk dengan dosa makan
minum dan kawin mengawinkan, itulah puncaknya
malam.
b. Pembinasa
keji berdiri di tempat kudus.
Ayo, gunakanlah kesempatan
yang ada untuk mengalami suatu perubahan
besar-besaran, restorasi besar-bersaran dalam kehidupan ini. Di dalam keubahan
itu nanti, kita akan terus melangkah sesuai ketetapan
firman yang membawa kita sampai kepada puncak rohani,
itulah
penyembahan, penyerahan diri sepenuh, sehingga terlepas dari
kegelapan malam, puncaknya malam, yaitu dosa kenajisan dan
pembinasa keji (aniaya antikris selama tiga tahun setengah).
Kedatangan Tuhan sudah dekat, mari kita
pergi ke bukit kemenyan jangan berlambat-lambat lagi, jangan sampai kerohanian
kita berjalan di tempat, rugi; habis waktu,
tenaga, pikiran, uang, serta materi, tetapi hanya
berakhir pada kebinasaan.
Wahyu 11:1
(11:1) Kemudian diberikanlah kepadaku sebatang
buluh, seperti tongkat pengukur rupanya, dengan kata-kata yang berikut: "Bangunlah
dan ukurlah Bait Suci Allah dan mezbah dan mereka yang beribadah di dalamnya.
Ada tiga hal yang diukur oleh buluh
pengukur ialah:
1. Bait Suci Allah, menunjuk kepada: kehidupan yang suci sampai kepada sempurna. Itulah Bait Suci Allah dimulai dari Ruangan
Suci sampai Ruangan Maha Suci.
2. Mezbah, menunjuk
kepada: pelayanan.
Tetapi
perlu untuk diketahui; melayani harus dengar-dengaran.
Kalau melayani tanpa dengar-dengaran, maka apabila ia memperbanyak mezbah (pelayanan), justru
itu akan memperbanyak dosanya. Tetapi yang
pasti yang diukur adalah pelayanan.
3.
Mereka yang beribadah
di dalamnya.
Puncak
ibadah kita adalah doa penyembahan.
Inilah yang diukur oleh Tuhan:
- Kesucian yang sampai
kepada kesempurnaan.
- Pelayanan yang disertai
dengan taat, setia, dengar-dengaran.
- Ibadah yang memuncak sampai
doa penyembahan, tandanya; penyerahan
diri sepenuh.
Bandingkan ayat 2 ...
Wahyu 11:2
(11:2) Tetapi kecualikan pelataran Bait Suci
yang di sebelah luar, janganlah engkau mengukurnya, karena ia
telah diberikan kepada bangsa-bangsa lain dan mereka akan menginjak-injak Kota
Suci empat puluh dua bulan lamanya."
Biarlah kita melangkah sesuai dengan langkah-langkah
firman, sampai nanti kita dibawa kepada puncak rohani, doa penyembahan.
Oleh
sebab itu, berubahlah. Kalau tidak berubah dari sejak sekarang, lihatlah, Pelataran
Bait Suci sebelah luar diserahkan kepada antikris
-- disebut
juga pembinasa keji -- untuk diinjak-injak
selama 42 bulan = 3,5 tahun = 1.260 hari.
Kita
tidak akan rugi jika menggunakan Pengajaran Mempelai dalam terangnya
Tabernakel, sebab semuanya terukur
dan kerohanian kita pun terukur. Mengapa ada ukurannya? Karena kita menggunakan
pola Tabernakel -- miniatur Kerajaan Sorga --,
dan Yesus sendiri adalah Tabernakel sejati.
Jadi, memang benar;
Pengajaran Mempelai merupakan cambuk,
tetapi juga yang membangunkan kita.
Zakharia 2:1-2
(2:1) Aku melayangkan mataku dan melihat: tampak
seorang yang memegang tali pengukur. (2:2) Lalu aku bertanya: "Ke manakah engkau ini pergi?"
Maka ia menjawab aku: "Ke Yerusalem, untuk mengukurnya, untuk
melihat berapa lebarnya dan panjangnya."
Perikop ayat
ini ialah
“Penglihatan
Ketiga: Seorang yang Memegang Tali Ukuran.”
Kalau
kita diukur, itu merupakan kasih Allah (kasih dari sorga), sebab
yang mempersatukan kita adalah tali kasih,
itulah yang menjadi tali ukuran.
Yerusalem adalah
tempat
kita beribadah dan melayani Tuhan, tetapi:
- Ibadah itu harus sampai kepada puncak rohani,
itulah doa penyembahan.
- Dan melayani harus dengan
taat,
setia, dengar-dengaran.
Itulah
yang diukur. Dan kalau kita diukur, itu merupakan
kasih dari sorga, kasih dari Allah, kasih mempelai. Itulah tali pengukur.
Ternyata,
kehidupan
yang diukur
merupakan kasih dari sorga (dari Allah),
bukan semata-mata membuat kita menderita. Kalau Tuhan ajar dan
didik kita sampai menjadi suatu kehidupan yang diukur,
hal itu semata-mata
bukan suatu tekanan dari Tuhan, tetapi itu merupakan kasih dari sorga (dari
Allah) supaya kita menjadi satu.
Tali kasih itu gunanya mempersatukan
dan menyempurnakan, berarti kita diukur
oleh tali kasih Mempelai. Satu,
berarti; mempelai,
sama dengan;
sempurna. Amin.
TUHAN
YESUS KRISTUS KEPALA GEREJA, MEMPELAI PRIA SORGA MEMBERKATI
Pemberita
Firman:
Gembala
Sidang; Pdt. Daniel U. Sitohang
No comments:
Post a Comment